TUTUR AJI SARASWATI


ALIH AKSARA DAN TERJEMAHAN TUTUR JATISWARA, TUTUR AJI SARASWATI, TUTUR CANDRABHERAWA (2004)

TUTUR JATISWARA

Lontar ini merupakan sebuah lontar tutur yang pada pokoknya menguraikan tentang nasehat seorang ayah (orang tua) kepada anaknya agar selalu patuh dan bertingkah laku yang baik sesuai dengan petunjuk yang tersurat dan tersirat dalam sastra-sastra agama.

Seorang ayah memberikan nasehat kepada anaknya mengingat pengalaman yang ia alami pada saat anak-anak, bagaimana bertingkah laku yang baik yang patut dilaksanakan di dunia ini agar mendapatkan kerahayuan di dunia dan di akhirat. Nasehat inilah yang dapat dipakai bekal dalam mengarungi bahtera kehidupan.

TUTUR AJI SARASWATI

Naskah ini pada dasarnya berisi ajaran tentang kesukseman, ajaran kerohanian tinggi yang isinya dapat dipilah menjadi dua yaitu: berisi ajaran tentang kesehatan dan ajaran hidup setelah mati yang dikenal dengan kamoksan. Dalam menguraikan ajarannya diawali dengan penyusunan Dasaksara, pengringkesannya menjadi Pancabrahma, Pancabrahma menjadi Tri Aksara, Tri Aksara menjadi Rwa Bhineda, Rwa Bhineda menjadi Ekaksara, dan juga diuraikan mengenai kedudukan dalam badan serta kegunaannya. Bila ingin menggunakan naskah ini sebagai sebuah tuntunan maka sebelumnya haruslah teliti, harus membandingkannya terlebih dahulu dengan naskah lain, dan juga perlu tuntunan seorang yang mumpuni di bidang itu untuk membukakan jalan karena jika sedikit saja keliru dalam mempelajari dan mempraktekkan maka akan berakibat fatal.

TUTUR CANDRABHERAWA

Lontar Tutur Candrabherawa secara tekstual merupakan penggalan dari Kuntiyajna Nilacandra. Secara intrinsik tergolong lontar tutur/tatwa, disusun dalam bentuk prosa menggunakan bahasa Sansekerta singkat dan bahasa Kawi sebagai penjelasan.

Tokoh sentral yang ditampilkan dalam naskah ini adalah Yudisthira Kresna, raja Astina-Dwarawati. Kedua raja ini adalah penganut Siwaisme beserta seluruh rakyatnya. Sedangkan Sri Candrabherawa adalah raja Kerajaan Dewantara, penganut Buddhisme beserta seluruh rakyatnya. Siwaisme yang dianut oleh Yudisthira-Kresna menekankan pada aspek ajaran Karma Sanyasa. Sedangkan Budhisme yang dianut oleh Candrabherawa menekankan pada aspek ajaran Yoga Sanyasa.

Ajaran Karma Sanyasa berpusat pada pembangunan tempat suci, persembahan sesaji yang dikenal dengan Panca Yadnya, dan penyembahan kepada dewa. Sedangkan ajaran Yoga Sanyasa adalah sebaliknya, tidak ada tempat suci, tidak ada persembahan, tidak ada penyembahan kepada dewa. Yang dipuja adalah Sang Hyang Adhi Buddha dengan mempelajari Bajradhara. Tidak ada dewa di luar (tempat suci), tetapi ada dalam diri. Maka itu, dewa dalam diri harus dipuja, agar lepas dari sorga dan neraka, tidak terlahirkan lagi.

Menurut Yudisthira-Kresna, hal yang demikian adalah tidak sesuai dengan ajaran Dharma Sasana dan ajaran Panca Yajna. Lebih-lebih dengan adanya pembangunan istana seperti sorga, kahyangan, penobatan Sri Candrabherawa sebagai Sri Parama Guru/Bhatara Guru, dan para patihnya diberi nama seperti layaknya nama-nama dewa di kahyangan. Hal inilah yang menyebabkan Yudisthira-Kresna murka dan menyerbu Kerajaan Dewantara.

Dalam peperangan tersebut, satu persatu para ksatria Pandawa berhasil ditaklukkan oleh Sri Candrabherawa, termasuk pula Sri Kresna berhasil dikalahkan. Akhirnya Yudisthira maju menghadapi Sri Candrabherawa mengadu kesaktian, yaitu dengan melepas roh dari raga masing-masing secara bergantian. Dalam adu kesaktian ini, Yudisthira menggelar aji kalepasan, maka lepaslah atma Yudisthira dari raganya, dan oleh Candrabherawa atma tersebut secepatnya ditangkap dan dimasukkan kembali ke raga Yudisthira hingga Yudisthira hidup kembali. Kemudian Candrabherawa melepaskan atmanya dari dalam raganya dan langsung menghadap Bhatara Guru memohon agar tidak diberitahukan dimana tempatnya kepada Yudisthira, sehingga Yudisthira menjadi kebingungan mencarinya. Kemudian Yudisthira pergi menghadap Bhatara Nilakanta, Bhatara Guru. Di situlah Yudisthira mendapat penjelasan bahwa Sri Candrabherawa merasa malu jika kesaktiannya diketahui oleh Yudisthira, karena ia hanya mempercayai Yoga Sanyasa sebagai jalan satu-satunya untuk mencapai kesempurnaan tertinggi, dengan mengabaikan Karma Sanyasa. Yudisthira pun diberi tahu bahwa atma Sri Candrabherawa berada di “Anta Sunya”, dan segeralah atma Sri Candrabherawa ditangkap dan dimasukkan ke dalam raganya sehingga Sri Candrabherawa hidup kembali.

Setelah Sri Candrabherawa hidup kembali, segeralah menyembah kehadapan Yudisthira. Yudisthira kemudian memerintahkan kepada Sri Candrabherawa agar mengikuti ajaran Dharma Sasana dengan seluruh rakyatnya. Tidak lagi ‘amada-mada’ kahyangan, seperti memberi nama para mantri dengan nama dewata.

Demikianlah, Ajaran Karma Sanyasa maupun Ajaran Yoga Sanyasa sesungguhnya tidak ada yang lebih tinggi salah satu darinya. Keduanya akan dapat mengantarkan seseorang untuk mencapai kesempurnaan tertinggi. Karma Sanyasa dan Yoga Sanyasa adalah ‘ayah-ibu’ masyarakat.

Baca : BABAD ARYA KEPAKISAN (1998)

Baca : BABAD BULELENG, BABAD ARYA GAJAH PARA, BABAD KI TAMBYAK

Sumber : baliculturegov.com

One response

  1. […] ← TUTUR AJI SARASWATI […]

    Like

G U E S T B O O K H E R E !!!