Category Archives: moksa

Gamelan Pesel Muda Langen || MANIS BATU

Gamelan Pesel Muda Langen || MANIS BATU, PLEASE SUBSCRIBE – LIKE – COMMENT – SHARE

Aku Hanya Minta Kwangen

Aku Hanya Minta Kwangen. Sering kudengar lagu yang menceritakan seorang anak yang sudah mencari ayahnya kesana-kemari. Namun apa yang si anak dapatkan saat berjumpa dengan sang ayah. Sang ayah telah tidur. Sang ayah tidur untuk selama-lamanya. Lagu ini diiringi oleh gamelan Angklung kematian, menambah hatiku bergetar mendengar bait demi bait yang dinyanyikan dengan irama pupuh. Tidak jelas bagiku yang kurang paham dengan pupuh. Mungkin saja itu pupuh Sinom.”Uduh Bapa … cingak titiang …”

Aku hanya minta Kwangen, ya, dalam bait demi bait lagu ini, tidak ada yang dapat menemani sang ayah dalam perjalanannya ke alam sana. Tidak ada harta, tidak ada kekayaan, emas, baju yang mewah, mobil yang mahal. Perjalanan yang sangat jauh, jauh sekali harus ditempuh sang ayah. Namun sebaliknya akan menjadi sangat dekat bila diiringi doa sang anak, doa dari sebuah Kwangen.

Setiap hari kudengarkan lagu ini tanpa pernah bosan, sambil mengerjakan tugas utama sebagai seorang ayah, mencari nafkah untuk kebutuhan keluargaku yang sederhana ini. Terkadang Aku larut dalam alunan Angklung kematian. Tak sadar terkadang air mata ini menetes membasahi pipi teringat akan sang ayah yang sudah lanjut usia. Maaf ayah, anakmu saat ini sedang melanjutkan tugas-tugas leluhur, melanjutkan generasi-generasi keluarga kita.

Sang ayah yang telah ditunggu lama sekali oleh sang anak, sang cucu, namun kini sang ayah dijumpai dalam keadaan tidur selama-selamanya. Dalam keadaaan saat seperti ini sang ayah hanya minta Kwangen Pmeras-an. Kwangen sebagai bagian dari upacara yang akan mengantarkan sang ayah. Kwangen yang akan membuka jalan bagi sang ayah. Iklaskanlah perjalanan sang ayah, karena ini merupakan bagian dari tugas sang ayah “nangun wasa kerti” untuk anak-anak ayah sekalian. (RANBB)

Siklus Aku ; Tuhan Tidak Mencipta Sesuatu

SIKLUS AKU. Apa yang kami maksud dengan “Tuhan tidak mencipta sesuatu” sesungguhnya telah mencipta baik yang sadar maupun yang tidak sadar. Yang Mutlak telah menciptakan “Aku” itu sendiri. Yang Kuasa tidak menciptakan sesuatu dari yang lain, tetapi dari diri-Nya sendiri. Dirinya inilah yang menjadi “Aku” itu, karena Aku “Atma” adalah percikan kecil dari-Nya, merupakan lidah Api Agung dari Api Keramat. Tetapi “Aku” bukanlah Yang Mutlak, karena Aku tidak Maha Besar seperti diri-Nya, dan juga tidak menciptakan alam semesta seperti diri-Nya. Aku hanyalah mahluk ciptaan-Nya, bukan Yang Kuasa itu. Walaupun demikian Aku mewarisi sifat-sifat dari yang Maha Kuasa.

Karena “Aku” telah ada baik yang sadar maupun yang tidak sadar sesungguhnya mental (kesadaran) itu telah tercipta. Hal ini jelas dalam kitab Atharvaveda XIX.52.1 disebutkan Kamas tad agre samavartata, manaso retah prathamam yad asit, artinya “Kekuatan kemauan lahir pertama-tama sekali di dunia Ia adalah intisari pikiran”. Intisari pikiran ini yang kemudian kita sebut sebagai kesadaran. Aku hadir mulai dalam bentuk kesadaran materi, kesadaran tumbuhan, kesadaran hewan, hingga kesadaran manusia seperti sekarang ini. Tiap tahapan evolusi kesadaran dapat dijelaskan dengan teori evolusi dan dapat diperbandingkan dengan turunnya awatara ke dunia ini. Baca artikel tentang Awatara Wisnu.

Aku hadir sebagai kesadaran yang paling rendah (kesadaran hidup) mengarungi samudera kehidupan. Aku hadir dalam kehidupan tumbuhan laut pemula. Aku hadir dalam binatang-binatang laut pemula. Aku hadir disitu untuk memberikan daya hidup. Aku mengarungi samudera luas dengan beragam pola kehidupan. Kesadaranku, kecerahanku, tertutup oleh api emosi kebendaan. Kehidupan ini tidak menyadari kehadiran Aku, karena ia telah dibutakan oleh api emosi kebendaan. Antara binatang satu dan lainnya acapkali bertempur memperebutkan kekuasaan. Ketentraman menjadi hilang. Pertikaian di mana-mana, sampai pada akhirnya Awatara turun untuk menyelamatkan sisi kehidupan. Ia datang memberikan kebijaksanaan. Ia datang memberikan kedamaian. Baca artikel tentang Turunnya Avatara ke Bumi

Hukum Karma telah terjadi. Setiap karma yang baik meningkatkan kualitas hidup. Karma buruk malah menjerumuskannya ke lembah terdalam. Punarbawa telah membuatku lahir kembali. Tapi karma baik meningkatkan kualitas hidup sehingga Aku bisa hadir dalam kehidupan yang lebih tinggi. Dari lautan Aku ke daratan, karena laut penuh gejolak, kehidupan berevolusi dari lautan ke daratan. Perpindahan ini cukup melegakan pada mulanya, namun emosi perkelahian, kebencian terus membelenggu, sehingga menutupi cahaya-cahaya terangku. Percekcokan pun masih tetap terjadi, perkelahian, pergumulan, pertentangan, permusuhan di mana-mana, sampai akhirnya Kurma Awatara menyelamatkan bumi ini dari kehancuran. Aku juga hadir di situ, dalam kehidupan itu.

Setelah perpindahan dari laut ke daratan, bukan berarti kedamaian di sini telah ditemukan. Malah perkelahian masih terjadi. Dimana-mana kebuasan merajalela, yang satu menindas yang lemah, menghancurkannya, memangsanya. Aku hadir dalam abad ini, hingga Narasima turun lagi untuk menyelamatkan isi dunia.

Berbekal dari batin-batin naluri, berbekal dari kesadaran-kesadaran fisik, karma positif selalu meningkatkan kualitas badan yang Aku tempati. Aku mulai menggunakan akal, kemudian memikirkan tentang nasib, cita-cita dan masa depan. Aku telah menggunakan pikiran, sesuatu yang belum pernah dimiliki dalam kehidupan “Aku” sebelumnya. Aku hadir sebagai mahluk berpikir. “Aku” menempati badan yang berpikir, “Aku” disebut Swayambhu Manu, mahluk pertama yang menggunakan pikiran. Tapi pikiran ini juga cendrung hanya digunakan untuk memenuhi nafsu-nafsu fisik belaka. Sinar terangku sudah lebih tampak di sana daripada bentuk kehidupan sebelumnya. Walaupun demikian ternyata evolusi pikiran ini masih membuat kekacauan-kekacauan hidup. Sampai akhirnya Parasu Rama datang menyelamatkan isi dunia. Dia adalah Awatara pemburu. Dia adalah penyelamat kehidupan dari perburuan.

Pada bentuk kehidupan yang lebih tinggi, sebagai Manu, di mana kehidupan masih dipenuhi oleh sensasi-sensasi perasaan, maka Rama hadir untuk menyelamatkan isi dunia. Tahap berikutnya turunlah Krishna dan Budha, sebagai Sang Penyelamat.

Kehidupan terus bergulir hingga “Aku” menempati kehidupan masa kini. Itulah perjalanan sang “Aku”, yang panjang dan melelahkan. Kini cahaya kesadaran telah memancar terang, kini emosi-emosi negatif telah kutinggalkan. Bila semua badan Kulepaskan, bila semua pikiran Kulepaskan, maka tinggalah “Aku”. dan “Aku” kembali pada-Nya. Itulah perjalanan hidupku. Aku berasal dari Yang Mutlak, menempati bentuk-bentuk kehidupan dari yang rendah, terus berevolusi ke yang tinggi karena karma. Haruskah evolusi Aku hentikan di sini? Atau haruskah Aku berulangkalu menempati badan ini?

Sumber bacaan buku Membangkitkan Kesadaran Atma Sangkan Paraning Dumadi oleh bapak Sastrawan. (RANBB)

 

Prediksi Kematian Pasien Dan Kode Etik Balian

Prediksi Kematian Pasien Dan Kode Etik Balian ( Dalam Dharma Usadha ).

Hidung pasien akan terlihat lebih pesek dari biasanya;
Pertengahan alis dan sekitar dahi/kening selalu keluar keringat;
Suaranya terdengar gamang ;

Kode Etik Balian

Kode Etik Balian

Seorang Balian (penyembuh tradisional) yang landasan ilmunya bersumber pada teks Dharma Usadha, dapat memprediksi datangnya kematian bagi si pasien berdasarkan ciri-ciri atau pertanda yang diperlihatkan oleh si sakit. Menurut teks ini, seorang Balian tidak boleh memberikan obat-obatan apapun kepada orang yang dipastikan akan meninggal beberapa saat lagi. Penolakan Balian Dharma Usadha bukannya tanpa alasan seperti prasangka orang selama ini.
Kematian bagi Dharma Usadha adalah sebuah fenomena ‘metamorfosis‘ yang terjadi pada manusia, dimana mereka yang mati lalu meninggalkan badan manusianya menuju badan baru yang lebih halus. Seperti seekor ulat yang terlebih dahulu harus menjadi kepompong agar bisa berubah (bermetamorfosis) menjadi kupu-kupu; demikian juga seekor jangkrik muda harus membuang badan pertamanya untuk memperoleh badan baru yang bersayap dan dapat terbang; pun manusia melalui proses kematian merubah dirinya menjadi roh (atma).
Kematian adalah sebuah proses evolusi (metamorfosis) dan bukanlah akhir dari segalanya apalagi akhir dari kehidupan. Bagi Dharma Usadha kehidupan tidak pernah akan berhenti, kehidupan itu berjalan terus hingga tujuan utama dari kehidupan tersebut tercapai. “Sekali lagi, akhir bukanlah kematian, akhir adalah menyatunya kehidupan dengan sumber kehidupan “. Fenomena ini bagaikan menyatunya kembali air hujan yang jatuh di dataran dengan lautan dari mana hujan itu bersumber. Tidak ada akhir dari air, yang ada hanyalah proses daur ulang dan perubahan rasa; demikian juga tidak ada akhir dari kehidupan, yang ada adalah proses semakin mendekati atau menjauh dari sumber kehidupan.
Pemahaman inilah yang melatari hingga Balian yang mengerti hakekat kematian, oleh Dharma Usadha dilarang mengganggu evolusi itu. Seperti ulat dalam kepompong yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, menjadi tidak sempurna jika diganggu; demikian juga seekor jangkrik muda yang membuang kulit lama, menjadi tidak sempurna jika diganggu. Evolusi kehidupan manusia pun sama saja, tentunya roh tidak akan memperoleh kesempurnaan jika proses evolusinya diganggu, maka dari itu, Balian Dharma Usadha berpantang memberikan obat-obatan kepada mereka yang diprediksi akan meninggal dunia. Pada situasi seperti ini, obat-obatan dianggap sebagai pengganggu proses evolusi atau proses ‘metamorfosis‘ manusia, perubahan dari bentuk kasarnya ke bentuk baru yang lebih halus.

Tingkah anambanin wong agring angadu Dharma Usadha, kayatna juga kramanya, hawas juga kalaranya mwang bayu pramananya, kalaning bayu mapanes, mwang bayu mahetis, bayu ayem. Ika yatna juga humawas mwang sedeng asung tamba mwang nora, mangkana prabedanya, apan hila-hila ika.

Artinya:
Etika mengobati orang sakit mempergunakan pengetahuan Dharma Usadha, waspadai aturannya perhatikanlah penyakitnya serta tanda kehidupannya, saat terasa panas, sejuk, ataukah dingin. Itulah yang diperhatikan dengan seksama sebagai dasar boleh mengobati atau tidak, seperti itulah aturannya, waspadai sebab berbahaya itu.

Berikut petunjuk Dharma Usadha dalam memprediksi kematian pasien berdasarkan pertanda-pertanda:
1. Hidung pasien akan terlihat lebih pesek dari biasanya;
2. Pertengahan alis dan sekitar dahi/kening selalu keluar keringat;
3. Suaranya terdengar gamang (kerap memanggil-manggil nama orang yang sudah meninggal);

Saking Buku Atma Prasangsa Memahami Kematian Dalam Tradisi Budaya Bali oleh IB Putra Manik Aryana, SS. M.Si. Diposting oleh Rare Angon Nak Bali Belog

Pengantar Bhima Swarga

Perjalanan Spiritual Bhima Ke Sorgaloka

Sepertinya kita semua perlu menyisihkan waktu untuk merenung, menenangkan diri diantara hingar bingar berita atau informasi yang singgah di ruang-ruang rumah kita. Bayangkan akibat kemajuan ilmu dan teknologi informasi, semua rentang dunia seperti tanpa jarak. Apa yang dibayangkan dan dikhawatirkan orang pada awal abad millenium tiga ini menjadi kenyataan. Teknologi informasi computer, teknologi internet, tidak saja akan meniadakan sekat ruang jagat raya, namun lebih dekat dengan kita, juga mempengaruhi prilaku keseharian umat manusia.
Dalam pergaulan sehari-hari, kita merasakan sangat sukar untuk membedakan yang mana dunia nyata dan mana dunia maya karena batas-batas itu nyaris tiada. Apa yang dulu pernah didogmakan para bijaksana tentang ajaran sekala niskala sudah baur. ini berakibat pula pada perubahan tatanan filsafat, nilai, norma, hukum dan aturan yang selama ini hidup dalam masyarakat.
Norma-norma kepatutan yang sudah berabad-abad dilakoni masyarakat secara turun-temurun, serta yang sudah teruji mampu mewujudkan keharmonisan peradaban dalam konteks Tri Hita Karana ; harmonis dengan Tuhan, dengan alam dan antar manusia, tiba-tiba kandas karena arogansi serta agresifitas teknologi modern seperti telah ‘menjajah’ logika, etika dan estetika masyarakat. Continue reading →