Ajeg Bali Kesejahteraan Semu


Ajeg Bali apa itu ? Ajeg memiliki arti tetap tegak berdiri, kukuh, kuat, tak tergoyahkan, tetap pada prinsip, atau kaku dan tidak memiliki toleransi. Bisakah Ajeg diartikan sebagai tidak memiliki toleransi ? Untuk mencapai tujuan yang jelas semestinya Ajeg itu dapat diartikan sebagai tidak memiliki toleransi. Toleransi dalam hal yang berkaitan dengan aturan adat, awig-awig, bhisama, etika masyarakat Bali, ajaran agama Hindu dalam kehidupan sehari-hari, sudah seharusnya Ajeg dan tidak ada toleransinya.

Saat ini pembangunan di Bali telah berhasil mengelabui semangat Ajeg Bali yang sering kita lontarkan, perdengarkan dengan congkak dan kumandangkan dengan lantang  dalam setiap pertemuan atau kampanye. Ajeg Bali yang mustinya tidak memiliki toleransi justru sangat toleran dengan hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan pariwisata, investor dengan rencana masterplan yang sangat megah, ditambah dengan kata-kata Ajeg Bali membuat masyarakat Bali terlena. Ajeg Bali membuat orang Bali sendiri lupa diri. Ajaran Tri Hita Karana dengan masyarakat adat yang selama ini memiliki aturan sangat jelas untuk mempertahankan keadaan Bali, semakin ‘toleran’ dengan rencana-rencana pembangunan pariwisata. Tinggi bangunan di Bali yang hanya setinggi pohon kelapa, yang sudah jelas-jelas pernah diatur awig-awig, kini telah berubah. Padahal tinggi bangunan akan meningkatkan efek rumah kaca, penyinaran pada lahan-lahan hijau akan berkurang karena dihalangi oleh bangunan. Tinggi bangunan menyebabkan udara tidak bersirkulasi dengan bebas.

Tanah Pertiwi, laut Samudera, danau Danu, gunung Giri, hutan Alas Angker, sungai Tukad, sawah Dewi Sri, kini sudah milik pariwisata, bukan milik AJeg Bali. Ajeg Bali hanya motto pemanis yang harus ada dalam setiap proposal masterplan sang investor. Wajib hukumnya. Sudah saatnya orang Bali memikirkan pariwisata Bali tanpa pembangunan fisik ! yang hanya akan menyebabkan semua hal diatas berkurang dan menghilang. Banyak orang pintar bergelar di Bali yang justru masih berpikir dangkal, kesejahteraan itu adalah benda (bangunan fisik). Kesejahteraan masyarakat Bali yang banyak menghasilkan devisa dari pariwisata seharusnya sudah bebas dalam biaya dalam hal pelayanan kesehatan, biaya pendidikan, dan menjalankan ritual keagamaan. Kemanakah devisa pariwisata Bali ?

Masyarakat Bali seharusnya semakin melek (melihat) dengan jelas jumlah devisa yang dihasilkan dari pariwisata. Sebanding ataukah tidak dengan kesejahteraan masyarakatnya. Jangan asal bekerja dan bekerja, tetapi devisa yang kita hasilkan itu hilang ‘dimakan’ pejabat. Hanya dengan kata Ajeg Bali kita kembali terlena, tidak terpikirkan akan devisa yang dihasilkan dari pariwisata itu entah kemana.  Tanah Pertiwi, laut Samudera, danau Danu, gunung Giri, hutan Alas Angker, sungai Tukad, sawah Dewi Sri adalah penghasil devisa, devisa yang seharuskan mensejahterakan masyarakat Bali yang selalu mendoakan mereka dengan segala Yadnya (pengorbanan yang tulus).

Pertanyaannya, sudahkah masyarakat Bali sejahtera dengan semua pembangunan ini ? Ajeg Bali dipertahankan untuk mensejahterakan masyarakat Bali, sejahtera secara bathin mungkin semakin jauh. Bagaimana tidak, pulau dewata yang kini telah berubah secara fisik membuat masyarakat Bali secara bathin pun berubah. Perubahan sikap konsumerisme, pragmatisme sudah sering kita jumpai saat ini. Bali yang memiliki hari raya keagamaan untuk meningkatkan mutu spiritualnya justru di’paksa’ untuk tidak melaksanakannya dengan alasan terlalu banyak libur. Oh, Bali sedang diperas dengan imbalan kata-kata Ajeg Bali. Bathin orang Bali semakin tidak sejahtera. Galungan hanya libur sehari, padahal dahulu bisa seminggu, menyebabkan masyarakat Bali tidak memiliki waktu untuk hidup bermasyarakat.

Pembangunan di Bali terlalu banyak bertoleransi terhadap hal-hal diatas. Bagaimana Bali mau Ajeg ngantos riwekasan ? Keluarga Berencana yang mengharuskan hanya 2 anak saja, bagaimana bisa melahirkan generasi-generasi penerus ? Dewasa ini sering kita dengar istilah Mayoritas dan Minoritas. Sudah jelas Umat Hindu di Bali sudah semakin sedikit tetapi tetap saja mengikuti Keluarga Berencana yang hanya 2 anak saja, sementara di pihak lain hal itu tidak berlaku, justru ‘menciptakan’ anak-anak yang semakin banyak. (RANBB)

G U E S T B O O K H E R E !!!